Syahdan, hanya ada dua malaikat yang setiap saat mengintai
gerak-gerik kita. Memata-matai tingkah laku serta tak pernah mengerjapkan mata
meski sekejap. Mereka memiliki kapasitas dan kemampuan yang jauh di atas rata-rata
intelijen yang pernah dimiliki CIA, FBI, atau NSA saat mengendus “korbannya”.
Mereka adalah Malaikat Raqib ra dan Malaikat ‘Atid ra. Tugas utama mereka dari
Allah cuma satu: mencatat kelakuan baik serta kelakuan jahat kita. Mereka
sangat jujur dan tak pernah bermaksiat kepada Allah. Mencatat apa adanya. Baik
ya baik, buruk tetap buruk. Mereka tidak ditugaskan untuk mengolah,
menganalisis, menyimpulkan apalagi menjatuhkan vonis sebagaimana intelijen
kampung yang seringkali bias atas nama kepentingan.
Mereka hanya menyetor data. Soal keputusannya, semata di
tangan Allah SWT. Nama keduanya amat mudah dikenal karena sejak kanak-kanak
sudah masuk dalam file memori kita. Malaikat Raqib bertugas hanya mencatat yang
baik-baik saja dari kita, sedang Malaikat ‘Atid sebaliknya, cuma mencatat yang
buruk-buruk. Keduanya dikenal sangat jujur, tulus dalam bertugas serta sungguh
jauh dari pamrih. Singgasana mereka di surga tetapi prajuritnya sungguh tak
terhitung. Tak ada sepotong nyawa pun yang tidak memiliki buku stambuk dan buku
induk pencatatan amal kita. Semuanya serba lengkap dengan superkomputer yang
teramat canggih. Pada waktunya, kepada kita akan dipertunjukkan catatan-catatan
serta jejak rekam kita selama menjadi penghuni di alam yang serba cepat ini.
Kini kalau kita berhitung secara jujur, manakah di antara
dua malaikat itu yang paling sering menuangkan catatannya untuk kita. Tampaknya
tanpa dikomando telunjuk ini akan mengarah kepada Malaikat ‘Atid. Kalau
dihitung-hitung pula, maka secara logika Malaikat ‘Atid akan jauh lebih aktif
membuat catatan dibanding Malaikat Raqib yang mungkin hanya tersenyum dan
geleng-geleng karena tak terlalu banyak amal yang bisa dimasukkan dalam Buku
Induk. Tumpukan dosa-dosa akan terus menjadi daftar pertama Buku Induk Malaikat
‘Atid dalam setiap pergantian tahun karena Allah sudah menyediakan buku baru
bagi timbunan dosa yang tak terhitung ini. Kalau tidak karena Allah Mahakuasa
menjadikan Malaikai ‘Atid memiliki daya juang yang luar biasa, boleh jadi
beliau akan merasa bosan dan protes kepada anak Adam. Tapi, begitulah tugas
mulia kedua malaikat al-muqorrobin ini. Mereka tidak pernah protes apalagi
menyatakan keberatannya sebagaimana pernah dilakukan Iblis.
Hingga akhirnya kita mendengar seorang ustadz di kampung
Pasirangin, Cileungsi, Bogor, berdoa. Guru ngaji bernama ustadz Zubaedi Raqib
ini dalam sebuah munajat di hadapan tak lebih dari sepotong shaf dalam shalat
jamaah Maghrib berbisik kepada Tuhannya. “Ya Robbanaa. Di negeri kami rasa
saling curiga bersemayam, bahkan mencengkeram dengan amat kuat di benak setiap
orang hingga saudara sendiri pun harus kita mata-matai, apakah masih dapat
dipercaya. Di desa kami pergunjingan adalah hal yang biasa hingga jika sedetik
saja kita tidak “memangsa daging saudara” kami yang sudah mati (istilah Alquran
untuk orang-orang yang suka menggunjing), rasanya kami belumlah tenteram dan
aman. Di kampung kami jika muncul persoalan, bukan kepada hati nurani kami
bertanya, tetapi langsnung menjatuhkan vonis dan menuding saudara sendiri
sebagai penyebab pelakunya. Di dusun kami tak ada lagi tetua yang bisa didengar
nasihatnya karena yang meluncur dari mulutnya tinggal sumpah serapah dan adu
domba. Meski negeri, desa, kampung, dan dusun kami terletak di atas bumui-Mu
tetapi kami selalu lupa bahwa Engkau memiliki hak untuk mengusuir kami dari
tanah-Mu ini. Kalau akhirnya Engkau usir kami, ke mana lagi kami akan pindah?”.
“Ya Robbanaa, hanya di negeri kami dapat disaksikan
gelimpangan mayat tanpa kepala berserakan di sembarang tempat. Cuma di negeri kami,
membantai jadi isyarat kepahlawanan dan kesucian. Hanya di negeri kami,
keberanian memuncak ke ujung rambut hingga sering kami mencabut nyawa saudara
kami atas nama-Mu. Hanya di negeri kami, kaum perempuan dijual sebagai alat
konsumtif untuk memenuhi nafsu setan. Cuma di negeri kami, anak-anak
diperdagangkan, diperah tenaganya, dirampas hak-haknya, dan dicibir seperti
sampah di setiap lampu merah, di bawah kolong jembatan dan emperan-emperan
plasa yang dibangun di atas tanah-Mu. Kalau dikalkulasi, dosa-dosa akumulatif
kami, sudah barang pasti akan melampaui utang luar negeri yang cuma ratusan
triliun rupiah. Di hadapan pengadilan-Mu, dosa satu orang di antara kami,
terlalu besar jika cuma dibayar dengan utang luar negeri kami. Ya Allah ya
Maaliki! Apakah karena dosa-dosa kami itu, Engkau berikan kepada kami pemimpin
yang sungguh tidak takut kepada-Mu dan tidak sayang kepada kami?”
“Allahumaa ya Robb! Para pemimpin kami benar-benar tidak
takut kepada-Mu. Selama ini kami anggap mereka sebagai orang tua kami yang
selalu siap memberikan rasa kasih dan sayang kepada kami. Tetapi sejak kami
angkat mereka sebagai pemimpin kami, mereka bukan membelai kami menjelang
tidur, tetapi justru membuat hati kami berdebar-debar karena waswas. Mereka
tidak pernah memenuhi hak kami agar diberi pendidikan yang layak, untuk diberi
sandang yang layak dan pangan yang patut. Setiap hari mereka menebar rasa
takut, seakan-akan mereka malaikat pencabut nyawa. Mereka tak pernah
menenteramkan hati kami.”
Begitu mendengar untaian doa orang kecil ini, maka inilah
saatnya kita melapor langsung kepada Allah SWT setelah serangkaian persoalan
tak mampu lagi kita tanggungkan sendiri. Setelah prahara yang mendera bangsa
tanpa henti, belum berakhirnya krisis jati diri setelah 30 tahun lebih tercabik-cabik,
lahirnya era baru yang tak kunjung membuahkan harapan, kompleksnya persoalan
hingga sulit mencari jalan keluar, kini saatnya kita mengadu hanya kepada
Allah. Sesungguhnya hidup dan mati adalah ujian, siapa di antara kita yang
paling baik perbuatannya (Innal Hayaata Wal Mauta Liyabluwakum Ayyukum Ahsanu
‘Amalan). Demikianlah Allah mengingatkan kita melalui firman-Nya yang Agung.
Tetapi rasanya teramat sulit bagi kita untuk dapat mencerna dengan kesadaran
tinggi, kepasrahan total dan kebeningan jiwa yang luhur untuk memaklumi isyarat
Tuhan tersebut. Bangsa ini tinggal berharap
pada harapan itu sendiri setelah tiada lagi institusi, lembaga, pranata sosial, dan pemimpin yang dengan ketulusan hati berkenan mendengarkan jeritan yang dengan bersuara pun tak mampu lagi membantu kita meneriakkannya. Saatnya kita melapor langsung kepada Allah, betapa sulitnya menghitung dengan jari, siapa lagi yang mampu menjadi khalifah-Mu di Bumi Pertiwi ini. Tuhan! Saksikan dan dengarlah pengaduan hamba-hamba-Mu ini. Kami sadar benar bahwa Engkau Mahamendengar dan Saksi Abadi atas derita yang membelit segenap anggota tubuh kami. Tuhan! Kami hanya ingin mengadu kepada-Mu malalui Sifat dan Asma-Mu yang Agung ! Wallaahu A’lamu Bishshowaab Wa Anta Wallyuttaufieq.
pada harapan itu sendiri setelah tiada lagi institusi, lembaga, pranata sosial, dan pemimpin yang dengan ketulusan hati berkenan mendengarkan jeritan yang dengan bersuara pun tak mampu lagi membantu kita meneriakkannya. Saatnya kita melapor langsung kepada Allah, betapa sulitnya menghitung dengan jari, siapa lagi yang mampu menjadi khalifah-Mu di Bumi Pertiwi ini. Tuhan! Saksikan dan dengarlah pengaduan hamba-hamba-Mu ini. Kami sadar benar bahwa Engkau Mahamendengar dan Saksi Abadi atas derita yang membelit segenap anggota tubuh kami. Tuhan! Kami hanya ingin mengadu kepada-Mu malalui Sifat dan Asma-Mu yang Agung ! Wallaahu A’lamu Bishshowaab Wa Anta Wallyuttaufieq.
(oleh : KH A Hasyim Muzadi )