Ilmu Allah II

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Surat Luqman, (31):34
Kalau manusia tidak dapat memastikan tentang kiamat dan fenomena alam di luar dirinya, seperti turunnya hujan, sebagaimana penggalan ayat sebelumnya, pada lanjutan ayat ini Allah mengajak manusia berpikir tentang diri mereka sendiri. Dan Dialah yang mengetahui apa yang ada di rahim seorang ibu. Memang, dengan kecanggihan teknologi kedokteran sekarang, orang dapat memastikan jenis kelamin janin di dalam rahim seorang ibu. Pada masa sebelumnya sebagian ulama menafsirkan ayat ini hanya sebatas jenis kelamin. Namun, sesuai dengan sifat ayat yang umum (yang ditunjukkan dengan kata mâ, yang berarti segala sesuatu), ayat ini tidak hanya sekadar berbicara tentang jenis kelamin. Banyak aspek tentang janin yang tidak mungkin bisa diketahui oleh manusia. Sebagai contoh, manusia tidak mungkin dapat mengetahui tentang warna kulit janin, sifat, kecerdasannya kelak, nasib baik dan buruknya. Ini semua merupakan kekuasaan mutlak Allah untuk menentukannya.

Bahkan kapan janin akan lahir juga tidak sepenuhnya dapat diketahui manusia. Bukankah banyak bayi yang lahir tidak sesuai dengan perhitungan kedokteran. Memang menurut ilmu kedokteran usia rata-rata kandungan adalah sembilan bulan sepuluh hari. Namun tidak sedikit kandungan janin yang tidak mencapai usia demikian. Ada yang mundur dan ada yang maju dari usia demikian. Ilmu kedoktaran hanya dapat mencapai tingkat kebenaran perkiraan, sebagaimana dengan pengetahuan manusia tentang hujan.

Di sisi lain, ada pula usaha manusia bahwa untuk mendapatkan anak yang cerdas, gizi si ibu sewaktu mengandung harus cukup. Ada juga teori bahwa orangtua yang cerdas juga akan melahirkan anak yang cerdas. Namun itu semua hanya usaha. Kepastiannya terletak sepenuhnya di tangan Allah. Bukankah banyak orangtua yang memiliki ilmu pengetahuan tinggi dan kecerdasan luar biasa, namun anak yang mereka lahirkan tidak sesuai dengan harapan. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, sebagaimana pernah ditulis oleh Mohammad Natsir dalam Capita Selecta, pada tahun 1930-an ada seorang ahli fisika Belanda bernama Prof. Dr. Paul Ehrenfest. Istrinya juga seorang yang cerdas. Namun suami istri ini mendapati anak mereka lahir dengan mental yang terbelakang atau idiot. Ini menunjukkan bahwa kecerdasan orangtua tidak menjamin lahirnya anak yang cerdas pula.

Tentang tiga hal yang gaib dalam ayat ini terlihat ada perbedaan, sesuai dengan perbedaan redaksi ayat. Ketika berbicara tentang hari kiamat, Al-Quran mempertegas dengan kata `indahu, sedangkan dua yang setelahnya tidak disertai kata tersebut. Ini mengisyaratkan bahwa pengetahuan tentang turunnya hujan dan janin dalam rahim bukanlah masalah gaib secara mutlak yang tidak dapat diketahui sama sekali oleh manusia, kecuali hanya oleh Allah. Perbedaan redaksi ini, menurut M. Quraish Shihab, boleh jadi mengisyaratkan bahwa manusia dapat mengetahuinya melalui penelitian ilmiah, namun hanya sekelumit saja. Allah memberi manusia kemungkinan untuk mengetahui masalah-masalah tersebut. Sementara pengetahuan tentang kiamat sepenuhnya otoritas Allah. Jangankan manusia, Nabi Muhammad Saw. atau malaikat sekalipun tidak diberi pengetahuan tentang hal itu.

Setelah menerangkan tiga hal yang tidak dapat diketahui manusia secara pasti, Allah mengarahkan pembicaraan pada hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas seseorang dan akhir hidupnya. ... dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Jangan anggap bahwa Anda besok dapat memastikan melakukan sesuatu yang sudah Anda rencanakan dengan matang sebelumnya. Ada kekuasaan Allah yang melakukan apa saja yang Ia kehendaki, yang dapat membatalkan rencana Anda. Banyak sekali pengalaman manusia yang memberi pelajaran kepada kita, betapa sesuatu yang telah direncanakan dan tinggal hanya di depan mata, dalam hitungan menit saja, bahkan detik, tiba-tiba berubah berantakan dan membuyarkan segalanya. Betapa pun teknologi canggih mampu memrediksi apa yang akan dilakukan manusia, ada invisible hand yang perlu diperhitungkan, yang bisa mengubah dan membatalkan prediksi tersebut. Oleh karena itu, Allah mengajarkan kita untuk tidak boleh memastikan akan melakukan sesuatu besok, kecuali dengan mengucapkan insyâ’ Allâh (Jika Allah menghendaki). Dalam surat al-Kahf, [18]:23-24 Allah mengingatkan, "Janganlah sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu bahwa kamu akan berbuat begini-begitu besok, kecuali disertai (ucapan) "Jika Allah menghendaki…."

Kata taksibu dalam ayat ini berasal dari kata kasb, yang berarti apa yang diupayakan oleh manusia yang diduganya dapat memberi manfaat atau menolak mudarat. Kasb dapat berbentuk ucapan, perbuatan, bahkan niat dan motivasi seseorang. Karena itu, kata taksibu mengandung arti yang sangat luas. Manusia tidak mungkin dapat mengetahuinya. Jangankan untuk besok hari, apa yang akan dilakukannya satu jam kemudian juga tidak dapat ia pastikan. Bukankah dalam kehidupan nyata kita sering mengalami bahwa suatu rencana yang sudah matang akan kita lakukan, tiba-tiba dalam hitungan menit bisa berubah dan batal karena suatu hal.

Manusia juga tidak dapat memastikan di mana ia meninggal. Dalam masyarakat sering kita dengar orang-orang tua yang menunaikan ibadah haji ke Baytullah dan berharap meninggal di Tanah Haram tersebut. Namun kenyataannya ia dapat pulang kembali ke tanah air dengan selamat dan segar bugar. Ada pula orang yang berkunjung ke satu tempat hanya untuk sementara, namun di tempat itu pula maut menjemputnya.

Ibn Katsir menguraikan secara panjang lebar hadis-hadis yang menegaskan bahwa bila Allah berkehendak untuk mencabut nyawa seorang hamba di satu tempat, Ia buatkan jalan bagi hamba tersebut untuk menuju ke sana. Setelah itu barulah malaikat Izrail mencabut nyawanya.

Dengan menyadari kekuasaan dan ilmu Allah ini, kita akan semakin disadarkan bahwa ilmu yang selama ini kita peroleh hanya laksana setetes air di lautan luas tak bertepi. Semua belum apa-apa bila dibandingkan dengan ilmu dan kekuasaan Allah. Masihkah pada tempatnya kita menyombongkan diri dengan ilmu dan kekuasaan yang kita peroleh sekarang?